Mansur: Permen PUPR 07/PRT/M/2019 Bangkitkan Usaha Jasa Konstruksi Kecil
Putusan Mahkamah agung Nomor 64 P/HUM/2019 yang menyatakan Pasal 21 ayat (3) huruf a, b dan c Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 07/PRT/M/2019 Tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, karenanya tidak sah serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Permen PUPR Nomor 07/PRT/M/2019 Tentang Standar Dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia; Pasal 21 ayat 3 itu berbunyi :
a) nilai HPS sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) disyaratkan hanya untuk Penyedia jasa Pekerjaan Konstruksi dengan kualifikasi usaha kecil;
b) nilai HPS di atas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) disyaratkan hanya untuk Penyedia jasa Pekerjaan Konstruksi dengan kualifikasi usaha menengah; atau
c) nilai HPS di atas Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) disyaratkan hanya untuk Penyedia jasa Pekerjaan Konstruksi dengan kualifikasi usaha besarAtas dasar putusan MA tersebut, masyarakat sangat cerdas dalam memahami fenomena kekosongan hukum didalamnya tanpa mengabaikan Azas dan Tujuan daripada Peraturan Perundang-undangan itu sendiri .
Berkaitan dengan Putusan Mahkamah Agung tersebut, Interpretasi Masyarakat Usaha Kecil terhadap Putusan MA tersebut sangatlah patut di diperhitungkan. Perlindungan Pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi masyarakat dalam pembangunan nasional adalah amanah konstitusi UUD 1945 yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur .
Kalau dilihat pertimbangan dibentuknya Undang-undang nomor 2 tahun 2017 tentang jasa konstruksi maka Sektor jasa konstruksi merupakan kegiatan masyarakat mewujudkan bangunan yang berfungsi sebagai pendukung atau prasarana aktivitas sosial ekonomi kemasyarakatan guna menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional. Didalam penyelenggaraan jasa konstruksi harus menjamin ketertiban dan kepastian hukum yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan .
Kemudian apabila kita merujuk kembali kepada Undang-undang no 2 thn 2017 tentang Jasa konstruksi ; pada Pasal 25 secara jelas dikhususkan bahwa segmentasi pasar serta kriteria risiko, teknologi, dan biaya untuk Badan usaha Jasa Konstruksi itu diatur dalam Peraturan Pemerintah yang menjadi wewenang Presiden Republik Indonesia.
Sebagai upaya presiden dalam mewujudkan Keberlanjutan dalam usaha kecil dalam negeri dan pengadaan , maka dapat kita tinjau kembali kepada Peran Serta Usaha Kecil yang tersebut di Perpres 16 Thn 2018 pasal 65 ayat 3 itu yang secara jelas disebutkan : Pemaketan dilakukan dengan menetapkan sebanyak banyaknya paket untuk usaha kecil tanpa mengabaikan prinsip efisiensi, persaingan usaha yang sehat, kesatuan system dan kualitas kemampuan teknis.
Akan tetapi permasalahan kemudian muncul pada saat Perpres 16 thn 2018 secara implisit menyebutkan nominal usaha kecil di Pasal 65 ayat 4 Perpres 16 Thn 2018 dengan nilai paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) harus dicadangkan untuk usaha kecil.
Namun secara fakta hukum dapat dinyatakan bahwa Peraturan Pemerintah yang mengatur secara jelas tentang segmentasi pasar serta kriteria risiko, teknologi, dan biaya untuk Badan usaha Jasa Konstruksi itu masih belum ada , sebagai amanah langsung dari Undang-undang no 2 Thn 2017 Tentang jasa Konstruksi
Akibat dari kekosongan kepastian hukum itu, maka tidak bisa dipungkiri bahwa Kementerian PUPR harus melaksanakan penyelenggaraan jasa konstruksi, dan Tindakan Diskresi itu muncul sesuai dengan Tujuannya untuk mengisi kekosongan hokum , melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, memberikan kepastian hukum dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum .
Pemaketan Pekerjaan yang diatur di Pasal 21 ayat 3 Permen PUPR No.07/PRT/M/2019 bagaikan Pahlawan yang mampu merealisasikan dan meningkatkan Usaha Kecil secara signifikan dan menjawab permasalahan dari Persaingan Usaha Tidak Sehat yang selama ini di setir oleh beberapa kalangan usaha menengah dan besar yang berkolaborasi dengan Pejabat Pemerintahan .
Secara fakta data statistik dapat kita pastikan bahwa jumlah Badan Usaha Jasa Konstruksi Kualifikasi Kecil itu paling besar di 83,75% dari Jumlah Keseluruhan Kualifikasi Usaha . BUJK Kualifikasi Kecil itu tumbuh signifikan berdasarkan Data BKPM di Direktorat Bina Kelembagaan dan Sumber Daya Jasa Konstruksi, Desember 2018)
Pemaketan Usaha atau Segmentasi Pasar BUJK Kualifikasi kecil tumbuh sangat signifikan apabila pemaketan pekerjaan sampai dengan 10 Milyar, berdasarkan Data Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) Kementerian PUPR
Segmentas 2016 2017 2018 Grand Total
Kecil (Rp.0s/d Rp2,5M) 840 967 725 26,97%
Kecil (Rp.0s/d Rp10M) 1.844 2.296 2.039 65,52%
Dari Data diatas dapat disimpulkan bahwa BUJK Kualifikasi Kecil untuk pemaketan sampai dengan 10 Milyar sangat berdampak kepada peningkatan demand pekerja dan bahan di daerah pelaksanaan proyek tersebut sejalan dengan pembangunan berkelanjutan yang melibatkan Ekonomi Sosial dan Tata kelola lingkungan setempat . Dan mewujudkan perlindungan dan penghidupan yang layak , tujuan pembangunan nasional dan fungsi sektor jasa konstruksi dimana masyarakat lokal sebagai penerima manfaat secara langsung.
Kemudian muncullah Tindakan Diskresi Pasal 21 ayat 3 Permen PUPR no 07/PRT/M/2019 yang mengatur itu karena mengisi kekosongan hukum , melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, memberikan kepastian hukum dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum .
Perlu adanya langkah pasti yang tertuang dalam Suatu Peraturan Pemerintah yang menjadi wewenang Presiden sebagai amanah dari Undang-undang No.02 tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi , dalam menentukan :
1. Segmentasi Pasar untuk Badan usaha Jasa Konstruksi
2. Kriteria risiko, teknologi, dan biaya untuk Badan usaha Jasa Konstruksi
Salam semangat cerdas masyarakat jasa konstruksi . Terima kasih.
(Mansur Syakban/Praktisi)